Social Icons

Pages

Kamis, 08 September 2016

Dari Penghijauan,Reboisasi ke Program Pengkayaan Hutan

Penghijauan dan Reboisasi
Konflik pertanahan di Tapanuli (Tobasa, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara) pada umumnya berawal dari masuknya berbagai program pemerintah seperti reboisasi dan penghijauan ke daerah ini. Dengan dalih penghijauan dan reboisasi, pemerintah (dinas terkait) melakukan pendekatan ke masyarakat disertai iming-iming dan janji bahwa program ini berrtujuan untuk melestarikan hutan, menjaga lingkungan, mengatasi masalah kekurangan air, dan agar tanah tidak kosong (produktif). Tentunya untuk meyakinkan masyarakat, dibuat juga perjanjian (tertulis dan tidak tertulis) bahwa dalam program ini rakyat tetap sebagai pemilik tanah. Pada saat itu, dinyatakan juga bahwa pohon yang ditanam tersebut nantinya akan menjadi milik masyarakat, dengan kata lain rakyat berhak menjual kayunya. Pada umumnya isi perjanjian sama, bahwa dalam waktu 25-30 tahun, tanah akan dikembalikan kepada masyarakat (pemilik).

Namun apa yang terjadi setelah 30 tahun yang diperjanjikan? Jangan kan berhak menjual kayu, masyarakat yang dulunya pemilik tanah, malah tidak berhak lagi atas tanah-tanah yang digunakan untuk program penghijauan dan reboisasi ini. Bahkan di atas tanah-tanah ini sudah diberikan ijin usaha kepada para pemodal. Salah satunya pemilik ijin (konsesi) terluas adalah PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL). Tentunya masih banyak ijin lainnya yang diberikan pemerintah kepada pengusaha secara sepihak (tanpa persetujuan masyarakat), khususnya di hutan adat.

Dari catatan KSPPM paling tidak ada beberapa konflik yang muncul akibat program reboisasi dan penghijauan ini di antaranya: (1) Klaim tanah adat turunan Ama Raja Medang Simamora seluas 153 Ha, di desa Aek Lung, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi kawasan hutan negara.  Sebelumnya tanah ini dijadikan areal reboisasi dengan perjanjian 30 tahun tanah akan dikembalikan kepada masyarakat. Setelah 30 tahun berlalu, tanah adat ini sudah menjadi konsesi TPL. Bahkan setelah dilakukan pemetaan secara partisipatif, dan hasil pemetaan ini di overlay dengan peta kehutanan (BATB, Register, dan konsesi TPL) ternyata wilayah adat ini berrada di luar kawasan hutan; (2) Klaim wilayah adat milik marga Situmorang menjadi kawasan hutan negara di Langgelangge, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir; (3) Klaim wilayah adat turunan dari Op.Pagar Batu Pardede dan Raja Pangumban Bosi Simanjuntak, di Parlombuan, Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara. Tanah adat seluas 3445 ha ini, pada tahun 1975, diminta oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan Tapanuli Utara untuk perluasan hutan dan mensukseskan program reboisasi. Namun pada akhirnya sudah menjadi areal HPH/TI PT TPL; (4) Klaim wilayah adat/tanah adat turunan Op. Ronggur Simanjuntak, seluas 800 Ha, di Huta Napa, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara menjadi kawasan hutan negara. Dulu pernah dijadikan proyek penghijauan, setelah pinus ditebang, tanah sudah menjadi konsesi PT TPL tanpa sepengetahuan dan kesepakatan dari turunan Op. Ronggur Simanjuntak;

Kasus-kasus di atas masih yang dapat dicatat dan diadvokasi KSPPM. Tentunya masih banyak lagi perampasan tanah-tanah adat di Tapanuli akibat adanya program ini.

Program Pengkayaan Hutan
Baru-baru ini, masyarakat di Huta Napa, Desa Siabal-abal IV dan Sabungannihuta V, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara menolak Program Pengkayaan Hutan. Melalui program ini Dinas Kehutanan Tapanuli Utara bermaksud mengadakan pembibitan kemenyan di lahan seluas 350 Ha. Hal ini tentunya mendapat protes dan penolakan dari warga. Sebab menurut warga, mereka selama ini hidup dari Tombak (hutan) Sialogo, Purbatua hingga ke Habinsaran (nama-nama hutan versi masyarakat setempat). Di areal ini sudah ada tanaman kemenyan beserta kayu alam lainnya. Di areal ini juga terdapat perladangan bernama Pispis Ree sekitar 6 Ha. Sehingga bagi masyarakat program ini hanya akal-akalan pemerintah untuk merampas tanah adat mereka. Sehingga mereka menanyakan kejelasan areal penanaman yang dimaksud pemerintah  untuk program ini kepada Kepala Dinas Kehutanan Tapanuli Utara (Alboin Siregar) ketika mengadakan sosialisasi program ini, 21 Nopember 2011, di desa tersebut. (lihat AntaraNews.com/Antara Sumut, 10 Februari 2012).

Seperti dijelaskan Trisna Harahap dalam Prakarsa edisi Nopember-Desember 2011 dalam tulisannya: Warga Keberatan atas Program Pengkayaan Hutan, bahwa saat itu Kadis Kehutanan menjelaskan program yang bernama “Program Pengkayaan Hutan” ini kepada warga. Hal ini dilatar belakangi akibat bumi yang semakin panas. Program ini merupakan program pemerintah pusat yang bertujuan untuk menambah tumbuhan di hutan sehingga menambah O2 dan Karbon dan dapat mengurangi dampak pemanasan bumi.

Menurut Kadishut, target semula, lokasi yang akan ditanam seluas 500 Ha, tetapi kemudian berkurang menjadi 350 Ha. Hal ini berdasarkan hasil survei lapangan oleh Dinas Kehutanan. Luas ini diambil berdasarkan peta Register Belanda. Nama-nama lokasi tersebut adalah Dolok Sibatuloting 150 Ha dan Dolok Parsialaan 200 Ha.

Mendengar penjelasan Kadishut ini, warga keberatan dan mengatakan bahwa masyarakat telah menguasai tanah tersebut sejak nenek moyang mereka. Mereka juga tidak mengenal dan tidak pernah mendengar  di daerah ini ada tombak yang bernama Dolok Parsialaan seperti disebutkan Kadishut. Kami keberatan dan sangat dirugikan jika pihak Kehutanan tiba-tiba masuk tanpa izin dari kami, demikian tanggapan warga saat itu.

Tetapi Kadishut tetap ngotot dan membantah pernyataan warga dengan mengatakan bahwa lokasi di mana program ini akan dilaksanakan merupakan tanah milik negara yang di atasnya tidak terdapat hak milik. Hutan ini masuk dalam kawasan Hutan Produksi, katanya. Ia juga menjelaskan bahwa program kehutanan ini, selain untuk kelestarian lingkungan, juga bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Tidak hanya swasta, perorangan pun diberikan izin untuk memanfaatkan hutan dengan tetap menjaga kelestariannya. Kehutanan tidak mengambil tanah yang dikerjakan masyarakat. Sekarang pun hutan dapat diusahai rakyat, asal masyarakat mengakui bahwa itu milik negara. Kehutanan hanya menambah tanaman yang ada di hutan (jenis kemenyan) karena merupakan sumber mata pencarian masyarakat di sini, jelasnya panjang lebar.

Meskipun terjadi saling bantah, namun Kadishut tetap bertahan dan mengatakan: “Dasar kami melakukan program pengkayaan hutan ini adalah karena lokasi tersebut merupakan hutan negara. Jika kehutanan tidak bisa mengerjakan lokasi itu, bukan karena itu tanah rakyat”.

Dikutip dari: http://www.ksppm.org/penghijauan

1 komentar:

  1. The Best Coin Casino | Play Online Slots for Real Money - Casino
    No-Deposit No Deposit Bonus at CasinoWild Casino. Play Real 1xbet korean Money 제왕카지노 Online Casino Games at CasinoWild and 인카지노 Win Big. Fast and Free!

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates