Penghijauan dan Reboisasi
Konflik pertanahan di Tapanuli (Tobasa, Samosir, Humbang Hasundutan,
dan Tapanuli Utara) pada umumnya berawal dari masuknya berbagai
program pemerintah seperti reboisasi dan penghijauan ke daerah ini.
Dengan dalih penghijauan dan reboisasi, pemerintah (dinas terkait)
melakukan pendekatan ke masyarakat disertai iming-iming dan janji bahwa
program ini berrtujuan untuk melestarikan hutan, menjaga lingkungan,
mengatasi masalah kekurangan air, dan agar tanah tidak kosong
(produktif). Tentunya untuk meyakinkan masyarakat, dibuat juga
perjanjian (tertulis dan tidak tertulis) bahwa dalam program ini rakyat
tetap sebagai pemilik tanah. Pada saat itu, dinyatakan juga bahwa
pohon yang ditanam tersebut nantinya akan menjadi milik masyarakat,
dengan kata lain rakyat berhak menjual kayunya. Pada umumnya isi
perjanjian sama, bahwa dalam waktu 25-30 tahun, tanah akan dikembalikan
kepada masyarakat (pemilik).
Namun apa yang terjadi setelah 30 tahun yang diperjanjikan? Jangan
kan berhak menjual kayu, masyarakat yang dulunya pemilik tanah, malah
tidak berhak lagi atas tanah-tanah yang digunakan untuk program
penghijauan dan reboisasi ini. Bahkan di atas tanah-tanah ini sudah
diberikan ijin usaha kepada para pemodal. Salah satunya pemilik ijin
(konsesi) terluas adalah PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL). Tentunya
masih banyak ijin lainnya yang diberikan pemerintah kepada pengusaha
secara sepihak (tanpa persetujuan masyarakat), khususnya di hutan adat.
Dari catatan KSPPM paling tidak ada beberapa konflik yang muncul
akibat program reboisasi dan penghijauan ini di antaranya: (1) Klaim
tanah adat turunan Ama Raja Medang Simamora seluas 153 Ha, di desa Aek
Lung, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi
kawasan hutan negara. Sebelumnya tanah ini dijadikan areal reboisasi
dengan perjanjian 30 tahun tanah akan dikembalikan kepada masyarakat.
Setelah 30 tahun berlalu, tanah adat ini sudah menjadi konsesi TPL.
Bahkan setelah dilakukan pemetaan secara partisipatif, dan hasil
pemetaan ini di overlay dengan peta kehutanan (BATB, Register, dan
konsesi TPL) ternyata wilayah adat ini berrada di luar kawasan hutan;
(2) Klaim wilayah adat milik marga Situmorang menjadi kawasan hutan
negara di Langgelangge, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir; (3) Klaim
wilayah adat turunan dari Op.Pagar Batu Pardede dan Raja Pangumban Bosi
Simanjuntak, di Parlombuan, Desa Tapian Nauli III, Kecamatan
Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara. Tanah adat seluas 3445 ha ini,
pada tahun 1975, diminta oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan
Tapanuli Utara untuk perluasan hutan dan mensukseskan program
reboisasi. Namun pada akhirnya sudah menjadi areal HPH/TI PT TPL; (4)
Klaim wilayah adat/tanah adat turunan Op. Ronggur Simanjuntak, seluas
800 Ha, di Huta Napa, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara
menjadi kawasan hutan negara. Dulu pernah dijadikan proyek penghijauan,
setelah pinus ditebang, tanah sudah menjadi konsesi PT TPL tanpa
sepengetahuan dan kesepakatan dari turunan Op. Ronggur Simanjuntak;
Kasus-kasus di atas masih yang dapat dicatat dan diadvokasi KSPPM.
Tentunya masih banyak lagi perampasan tanah-tanah adat di Tapanuli
akibat adanya program ini.
Program Pengkayaan Hutan
Baru-baru ini, masyarakat di Huta Napa, Desa Siabal-abal IV dan
Sabungannihuta V, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara menolak
Program Pengkayaan Hutan. Melalui program ini Dinas Kehutanan Tapanuli
Utara bermaksud mengadakan pembibitan kemenyan di lahan seluas 350 Ha.
Hal ini tentunya mendapat protes dan penolakan dari warga. Sebab
menurut warga, mereka selama ini hidup dari Tombak (hutan)
Sialogo, Purbatua hingga ke Habinsaran (nama-nama hutan versi
masyarakat setempat). Di areal ini sudah ada tanaman kemenyan beserta
kayu alam lainnya. Di areal ini juga terdapat perladangan bernama
Pispis Ree sekitar 6 Ha. Sehingga bagi masyarakat program ini hanya
akal-akalan pemerintah untuk merampas tanah adat mereka. Sehingga
mereka menanyakan kejelasan areal penanaman yang dimaksud pemerintah
untuk program ini kepada Kepala Dinas Kehutanan Tapanuli Utara (Alboin
Siregar) ketika mengadakan sosialisasi program ini, 21 Nopember 2011,
di desa tersebut. (lihat AntaraNews.com/Antara Sumut, 10 Februari
2012).
Seperti dijelaskan Trisna Harahap dalam Prakarsa edisi
Nopember-Desember 2011 dalam tulisannya: Warga Keberatan atas Program
Pengkayaan Hutan, bahwa saat itu Kadis Kehutanan menjelaskan program
yang bernama “Program Pengkayaan Hutan” ini kepada warga. Hal ini
dilatar belakangi akibat bumi yang semakin panas. Program ini merupakan
program pemerintah pusat yang bertujuan untuk menambah tumbuhan di
hutan sehingga menambah O2 dan Karbon dan dapat mengurangi dampak
pemanasan bumi.
Menurut Kadishut, target semula, lokasi yang akan ditanam seluas 500
Ha, tetapi kemudian berkurang menjadi 350 Ha. Hal ini berdasarkan
hasil survei lapangan oleh Dinas Kehutanan. Luas ini diambil
berdasarkan peta Register Belanda. Nama-nama lokasi tersebut adalah
Dolok Sibatuloting 150 Ha dan Dolok Parsialaan 200 Ha.
Mendengar penjelasan Kadishut ini, warga keberatan dan mengatakan
bahwa masyarakat telah menguasai tanah tersebut sejak nenek moyang
mereka. Mereka juga tidak mengenal dan tidak pernah mendengar di
daerah ini ada tombak yang bernama Dolok Parsialaan seperti disebutkan
Kadishut. Kami keberatan dan sangat dirugikan jika pihak Kehutanan
tiba-tiba masuk tanpa izin dari kami, demikian tanggapan warga saat
itu.
Tetapi Kadishut tetap ngotot dan membantah pernyataan warga dengan
mengatakan bahwa lokasi di mana program ini akan dilaksanakan merupakan
tanah milik negara yang di atasnya tidak terdapat hak milik. Hutan ini
masuk dalam kawasan Hutan Produksi, katanya. Ia juga menjelaskan bahwa
program kehutanan ini, selain untuk kelestarian lingkungan, juga
bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Tidak hanya swasta, perorangan
pun diberikan izin untuk memanfaatkan hutan dengan tetap menjaga
kelestariannya. Kehutanan tidak mengambil tanah yang dikerjakan
masyarakat. Sekarang pun hutan dapat diusahai rakyat, asal masyarakat
mengakui bahwa itu milik negara. Kehutanan hanya menambah tanaman yang
ada di hutan (jenis kemenyan) karena merupakan sumber mata pencarian
masyarakat di sini, jelasnya panjang lebar.
Meskipun terjadi saling bantah, namun Kadishut tetap bertahan dan
mengatakan: “Dasar kami melakukan program pengkayaan hutan ini adalah
karena lokasi tersebut merupakan hutan negara. Jika kehutanan tidak
bisa mengerjakan lokasi itu, bukan karena itu tanah rakyat”.
Dikutip dari: http://www.ksppm.org/penghijauan
Kamis, 08 September 2016
Dari Penghijauan,Reboisasi ke Program Pengkayaan Hutan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
The Best Coin Casino | Play Online Slots for Real Money - Casino
BalasHapusNo-Deposit No Deposit Bonus at CasinoWild Casino. Play Real 1xbet korean Money 제왕카지노 Online Casino Games at CasinoWild and 인카지노 Win Big. Fast and Free!